Sabtu, 27 Agustus 2011

Kegelisahan Batin

[002] Al Baqarah - Murottal Dan Terjemahan Al Quran.mp3          Seringkah anda dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti ‘untuk apa semua ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?’ pun mulai muncul di hati anda. Sebenarnya, Allah setiap saat ‘memanggil-manggil’ kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya ‘menoleh’ kepada Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan, panggilan-Nya ini.
Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan ‘Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,’ dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq’? Allah, percayalah, akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.

Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.
Bentuk ‘pancingan’ semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa, misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha raja yang terbesar sepanjang sejarah,. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu ‘galau’ ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayah tirinya, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayah tirinya itu.
Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah ‘potensi mencari Allah’ yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada kita semenjak lahir.
Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari. Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja, tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.
Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.
Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia ‘menjerit’ ingin mencari Al-Haqq, dan ‘rembesannya’ kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.
Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.
Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke pengajian bukan dengan niat mencari-Nya tapi hanya untuk melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja: ketika sakit kepala, cari obat. Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi..
Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: “Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur’an!!” Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur’an?
Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur’an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur’an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur’an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur’an.
Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS 56:77-79).
[Q.S. 56] “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79).”
Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan, sehingga makna qur’an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika demikian, apa implikasi pernyataan : “Semua jawaban telah ada di Qur’an” baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan qur’an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?
Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya ‘jeritan jiwa’ tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?
Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.
Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.
Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: “Siapa diriku sebenarnya?”.
Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta’ala, yaitu Nabi Syu’aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya.
Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa nafsahu”, untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan Syu’aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:
“Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.” (Shahih Bukhari no. 2026)
Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan “Siapakan aku? Untuk apa aku diciptakan?” harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda.
“Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ’sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).
Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.
Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’.
‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng- ‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal– perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina ma’rifatullah”, Awalnya diin adalah ma’rifat (meng-’arif-i) Allah....

Mutiara Hadist

Kebahagiaan orang yang beriman adalah dengan mencintai Allah SWT. Dan mencintai Allah SWT merupakan puncak dari segala kebahagiaan dan hanya dinikmati oleh mereka yang sungguh-sungguh beriman dan tidak mau menerima kebahagiaan selainnya."
( DR. Aidh al-Qarni)

Hati yang lurus Seseorang tidak bisa dipegang amanahnya sehingga lurus lisannya, dan dia tidak lurus lisannya sehingga lurus hatinya. (al Hasan al Bashri/Al Adab asy Syar'iyyah, Ibnu Muflih)

Orang alim itu bukanlah yang mengetahui kebaikan dari yang buruk, tetapi orang alim adalah yang mengetahui kebaikan lalu mengikutinya dan mengetahui keburukan lalu menjauhinya. (Sufyan bin Uyainah/ Az Zuhd, Imam Ahmad)


Tiga Perkara
"Ada tiga perkara pada diriku, aku tidak menyebutkannya kecuali supaya dapat diambil pelajaran, Pertama "Aku tidak mendatangi penguasa (sulthan) kecuali jika di undang, kedua, Aku tidak masuk pada dua orang kecuali setelah keduanya mempersilahkanku masuk diantara mereka, ketiga, tidaklah aku menyebutkan seseorang setelah dia pergi dari sisiku kecuali kebaikan-kebaikan." (Al Ahnaf bin Qais)

Imam Malik:
"Sesungguhnya aku hanyalah manusia biasa: aku terkadang berbuat salah dan terkadang aku benar. Oleh sebab itu, perhatikanlah pendapat-pendapatku: semua yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, terimalah; dan semua yang tidak sesuai dengan Al-Qur'an dan Sunnah, abaikanlah." - Ibn 'Abdul Barr in Jaami' Bayaan al-'Ilm (2/32)
********
Ibnu Umar r.a. pernah ditanya : "Apakah pakaian yang baik untuk dipakai?"
Yaitu : "Pakaian yang kiranya tidak dicemoohkan oleh orang yang budi pekertinya rendah dan tidak pula kiranya dicela oleh orang-orang yang bijaksana."


Orang itu bertanya lagi : "Jadi yang bagaimana?"
Jawabnya : "Yang sedang saja, terlalu murahpun tidak dan terlalu mahal pun tidak."

Akan datang kepada manusia suatu masa ketika kemanisan hati berubah menjadi masin. Sehingga pada hari itu, orang yang berilmu dan orang yang memepelajari ilmu tak dapat mengambil manfaat dari ilmunya. Maka hati orang-orang berilmu seumpama tanah kosong yang bergaram yang turun atasnya hujan dari langit maka tidak juga menjadi tawar. Iaitu, apabila condong hati orang berilmu kepada cinta dunia dan melebihkannya atas cinta akhirat, maka pada saat itu dicabutlah oleh Allah sumber-sumber hikmah dan dipadamkanlah lampu petunjuk dari hati mereka. Maka akan berceritalah kepadamu orang yang berilmu di antara mereka itu, ketika engkau menjumpainya bahawa ia takut kepada Allah dengan lisannya, sementara kezaliman jelas kelihatan pada amal perbuatannya. Alangkah suburnya lidah mereka dan tanduslah hati mereka ketika itu! Tidaklah terjadi yang demikian itu selain kerana para guru mengajar bukan kerana Allah dan para pelajar belajar bukan kerana Allah.
{Ibnu mas'ud ra.}

Sesungguhnya Aku mengingatkan kepadamu supaya kamu tidak termasuk orang orang yang tidak berpengetahuan. ( QS. Hud ; 46 )
Sebaliknya , Ilmu adalah cahaya bagi hati nurani, kehidupan bagi ruh dan bahan bakar bagi tabiat.

Wasiat Rasulullah saw kepada Ali bin Abi Thalib r. a.
Wahai Ali, Bagi ahli ibadah itu ada 3 tanda-tandanya :
1. Mengawasi dirinya
2. Menghisab dirinya
3. Memperbanyak ibadah kepada Allah SWT


Jika kalian selesai membaca tasyahud akhir, hendaklah ia memohon perlindungan Allah atas empat perkara:
dari siksa neraka jahannam, dari siksa kubur, dari cobaan hidup dan mati, dan dari cobaan Al-Masih Ad-dajjal " (HR. Muslim)"



Menemukan Empat Hal di Empat Tempat:" Aku pernah mencari empat hal di dalam empat jalan, ternyata salah jalan. Namun aku justru menemukannya dalam empat hal yang lain.:

Pertama, aku mencari kekayaan dengan mengumpulkan harta benda, tapi aku tidak menemukannya. Ternyata aku temukan kekayaan itu pada sifat qana'ah (merasa cukup dengan apa yang diberikan Allah SWT).Kedua, aku mendambakan hidup tenang pada harta benda yang melimpah, namun ia kutemukan di dalam harta yang sedikit.Ketiga, aku mencari kelezatan dengan mengejar kenikmatan, namun ia kutemukan pada badan yang sehat.Dan keempat, aku mencari rezeki di bumi, tapi ia kutemukan di langit"
(Syaikh Hamid Al-Laffaf rahimahullahDiambil dari majalah tarbawi ed:166 th 8, 9 Nov 2007M)

Dari Abu Hurairah r.a. dari Rasulullah salallahu alayhi wa sallam, beliau bersabda:"Apabila Allah mencintai seseorang, maka Allah memanggil malaikat Jibril dan berfirman: "Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah dia. Kemudian Jibril mencintai orang itu dan berkata kepada penghuni langit: "Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah ia." Penghuni langitpun akhirnya mencintai orang itu. Setelah itu kecintaanya diteruskan kepada penghuni bumi. Dan apabila Allah membenci seseorang, maka Allah memanggil malaikat Jibril dan berfirman: Aku membenci si fulan, maka bencilah dia. Kemudian Jibril membenci orang itu. Setelah itu Jibril berkata kepada penghuni langit: Sesungguhnya Allah membenci si fulan, maka bencilah dia. Mereka membencinya. Kemudian kebenciannya tersebut diteruskan kepada penghuni bumi." [HR: Muslim]

Dari Aisyah r.a, berkata, saya mendengar RasulullahSaw. bersabda, "Sesungguhnya orang mukmin itu denganbudi pekertinya yang baik dapat mengejar derajat orangyang selalu berpuasa dan shalat malam." (Riwayat Abu Daud)

Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah Saw. bersabda, "Barangsiapa yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke sorga." (Riwayat Muslim)

"Amal itu kerangka yang mati, dan ruhnya adalah keikhlasan yang ada padanya."
Ibn 'Atha'illah, Al-Hikam, No. 10, Hal. 29

Dari Abu Musa al-'Asy'ari r.a, katanya, Nabi MuhammadSaw berkata, "Setiap orang Islam berkewajiban untuk bersedekah." Para sabahat bertanya."Kalau tidak adaapa-apa ?" Rasul menjawab, "Ia berusaha dengan kedua tangannya, lalu ia mendapat manfaat bagi dirinya dania bersedekah." Mereka bertanya, "Kalau ia tidak sanggup, atau tidak melakukannya ?" Rasul menjawab,"Ia membantu orang yang menderita dan memerlukan bantuan." Mereka bertanya, "Kalau tidak dilakukannya?" Rasul menjawab, "Ia menyuruh melakukan kebaikan."Mereka bertanya, "Kalau ia tidak melakukannya ?"Beliau menjawab, "Ia menahan diri untuk tidakmelakukan kejahatan. Itu berarti sedekah baginya."(Riwayat Bukhari)

Dari Anas r.a berkata, saya mendengar Rasulullah Sawbersabda, "Allah ta'ala berfirman : "Wahai anak Adam,selama kamu berdo'a dan mengharap kepadaKu niscaya Aku ampuni dosa yang telah kamu lakukan dan Aku tidak memperdulikan berapa banyaknya. Wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu bagaikan awan di langit kemudian kamu minta ampun kepadaKu, niscaya Aku mengampunimu, dan Aku tidak mempedulikan berapa banyak dosamu. Wahai anak Adam seandainya kamu datangkehadapanKu dengan membawa dosa seisi bumi kemudian bertemu dengan Aku tanpa menyekutukan sesuatu apa pun denganKu, niscaya Aku mengampuni dosa yang seisi bumiitu." (Riwayat At Turmudzy)

Dari Abu Ayyub r.a bahwasanya Rasulullah Saw.bersabda, "Barangsiapa yang puasa pada bulan Ramadhan kemudian diikutinya dengan puasa enam hari dari bulan Syawal maka ia seperti puasa sepanjang tahun."(Riwayat Muslim)

Dari Ibnu 'Abbas r.a, dari Nabi Muhammad Saw yangdiriwayatkannya dari Tuhannya, beliau bersabda, Allahberkata, "Sesungguhnya Allah menuliskan semuakejahatan dan kebaikan, kemudian dijelaskannya: Siapa yang berniat melakukan satu kebaikan dan tidak dilaksanakannya, maka Allah menuliskan disisi-Nya untuk orang itu satu kebaikan yang sempurna. Kalau orang itu berniat melakukan suatu kebaikan dan hal itu dilaksanakannya, maka Allah menuliskan disisi-Nyauntuk orang itu sepuluh kebaikan sampai tujuh ratuskali lipat, sampai berlipat ganda. Siapa yang berniatmelaukan suatu kejahatan, tetapi tidak dilaksanakannya, maka Allah menuliskan disisi-Nya untuk orang itu satu kebaikan yang sempurna. Tetapi kalau ia berniat melakukan kejahatan dan dilaksakannya, maka Allah menuliskan disisi-Nya untuk orang itu, satu kejahatan." (Shahih Bukhari IV)

Dari Ibnu Mas'ud r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda,"Maukah kamu sekalian aku beritahu tentang orang yang diharamkan untuk masuk neraka? Atau tentang orang yang mana neraka diharamkan padanya? Neraka itu diharamkan pada setiap orang yang mendekatkan diri kepada Allah,yang bersikap lemah lembut, lunak dan suka mempermudah. "

Ajarkanlah kebaikan kepada anak-anakmu dan didiklah mereka dengan budi pekerti yang baik." (HR. AbdurRazzaq & Said bin Mansyur)

Dari Ibu 'Abbas r.a, katanya, Nabi Muhammad Sawbersabda, "Ada dua nikmat yang sering kebanyakan manusia tertipu tentangnya (sering melupakannya) ,yaitu: waktu sehat dan waktu senggang." (ShahihBukhari IV no.1737)

Dari Amru bin Syu'aib r.a meriwayatkan dari ayahnya,dari kakeknya r.a bahwa Rasulullah Saw bersabda, "Jika salah seorang diantara kamu resah (menjelang) tidur,hendaklah ia mengatakan, 'Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari marah-Nya,hukuman-Nya, dan dari kejelekan hamba- hamba-Nya,serta dari berbagai godaan setan dan kehadirannya. 'Sesungguhnya setan sama sekali tidak akan membahayakannya. "(HR Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i)

Rasulullah Saw bersabda, "Dalam tubuh manusia ada segumpal darah yang jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Namun jika rusak, rusak pulalah seluruh tubuhnya. Segumpal darah itu ialah hati."(HR Bukhari dan Muslim dari An-Nu'man bin Basyir)

Hendaknya kamu berhati-hati untuk berdusta.Sesungguhnya kedustaan itu membawa kepada kejahatan,dan kejahatan itu membawa ke neraka. Kalaulahseseorang itu terus menerus berdusta, dan memelihara kedustaan, maka ia digelari disisi Allah sebagai pendusta. (HR Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi)

Rasulullah Saw mengatakan bahwa kebencian dan kedengkian merupakan salah satu penyakit umat yang sangat berbahaya, dan sangat mempengaruhi agamanya. Beliau bersabda, "Manusia akan tetap berada di dalamk ebaikan selama dia tidak mempunyai rasa dengki."(Diriwayatkan oleh Thabrani)

Dalil tentang amanah

Rasulullah saw. bersabda, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Amanah adalah kata yang sering dikaitkan dengan kekuasaan dan materi. Namun sesungguhnya kata amanah tidak hanya terkait dengan urusan-urusan seperti itu. Secara syar’i, amanah bermakna: menunaikan apa-apa yang dititipkan atau dipercayakan. Itulah makna yang terkandung dalam firman Allah swt.: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk menunaikan amanah-amanah kepada pemiliknya; dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” (An-Nisa: 58)

Ayat di atas menegaskan bahwa amanah tidak melulu menyangkut urusan material dan hal-hal yang bersifat fisik. Kata-kata adalah amanah. Menunaikan hak Allah adalah amanah. Memperlakukan sesama insan secara baik adalah amanah. Ini diperkuat dengan perintah-Nya: “Dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia hendaklah kalian menetapkan hukum dengan adil.” Dan keadilan dalam hukum itu merupakan salah satu amanah besar.

Itu juga diperjelas dengan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan karenanya akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. Amir adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Lelaki adalah pemimpin di tengah keluarganya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang mereka. Seorang wanita adalah pemimpin di rumah suaminya dan atas anak-anaknya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentangnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya dan ia akan diminta pertanggungjawaban tentang itu. Dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.” (Muttafaq ‘Alaih)

Dan Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya Kami menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun mereka menolak dan khawatir untuk memikulnya. Dan dipikullah amanah itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zhalim lagi amat bodoh.” (Al-Ahzab 72)

Dari nash-nash Al-Qur’an dan sunnah di atas nyatalah bahwa amanah tidak hanya terkait dengan harta dan titipan benda belaka. Amanah adalah urusan besar yang seluruh semesta menolaknya dan hanya manusialah yang diberikan kesiapan untuk menerima dan memikulnya. Jika demikian, pastilah amanah adalah urusan yang terkait dengan jiwa dan akal. Amanah besar yang dapat kita rasakan dari ayat di atas adalah melaksanakan berbagai kewajiban dan menunaikannya sebagaimana mestinya.

Amanah dan Iman

Amanah adalah tuntutan iman. Dan khianat adalah salah satu ciri kekafiran. Sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan di atas menegaskan hal itu, “Tiada iman pada orang yang tidak menunaikan amanah; dan tiada agama pada orang yang tidak menunaikan janji.” (Ahmad dan Ibnu Hibban)

Barang siapa yang hatinya kehilangan sifat amanah, maka ia akan menjadi orang yang mudah berdusta dan khianat. Dan siapa yang mempunyai sifat dusta dan khianat, dia berada dalam barisan orang-orang munafik. Disia-siakannya amanah disebutkan oleh Rasulullah saw. sebagai salah satu ciri datangnya kiamat. Sebagaimana disampaikan Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya–, Rasulullah saw. bersabda, “Jika amanah diabaikan maka tunggulah kiamat.” Sahabat bertanya, “Bagaimanakah amanah itu disia-siakan, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (Al-Bukhari)

Macam-macam Amanah

Pertama, amanah fitrah. Dalam fitrah ada amanah. Allah menjadikan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada tauhid, kebenaran, dan kebaikan. Karenanya, fitrah selaras betul dengan aturan Allah yang berlaku di alam semesta. Allah swt. berfirman: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul, (Engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).” (Al-A’raf: 172)

Akan tetapi adanya fitrah bukanlah jaminan bahwa setiap orang akan selalu berada dalam kebenaran dan kebaikan. Sebab fitrah bisa saja terselimuti kepekatan hawa nafsu dan penyakit-penyakit jiwa (hati). Untuk itulah manusia harus memperjuangkan amanah fitrah tersebut agar fitrah tersebut tetap menjadi kekuatan dalam menegakkan kebenaran.

Kedua, amanah taklif syar’i (amanah yang diembankan oleh syari’at). Allah swt. telah menjadikan ketaatan terhadap syariatnya sebagai batu ujian kehambaan seseorang kepada-Nya. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menetapkan fara-idh (kewajiban-kewajiban), maka janganlah kalian mengabaikannya; menentukan batasan-batasan (hukum), maka janganlah kalian melanggarnya; dan mendiamkan beberapa hal karena kasih sayang kepada kalian dan bukan karena lupa.” (hadits shahih)

Ketiga, amanah menjadi bukti keindahan Islam. Setiap muslim mendapat amanah untuk menampilkan kebaikan dan kebenaran Islam dalam dirinya. Rasulullah saw. bersabda:“Barangsiapa yang menggariskan sunnah yang baik maka dia mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang rang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahalanya sedikit pun.” (Hadits shahih)

Keempat, amanah dakwah. Selain melaksanakan ajaran Islam, seorang muslim memikul amanah untuk mendakwahkan (menyeru) manusia kepada Islam itu. Seorang muslim bukanlah orang yang merasa puas dengan keshalihan dirinya sendiri. Ia akan terus berusaha untuk menyebarkan hidayah Allah kepada segenap manusia. Amanah ini tertuang dalam ayat-Nya: “Serulah ke jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasihat yang baik.” (An-Nahl: 125)

Rasulullah saw. juga bersabda, “Jika Allah memberi petunjuk kepada seseorang dengan usaha Anda, maka hal itu pahalanya bagi Anda lebih dibandingkan dengan dunia dan segala isinya.” (al-hadits)

Kelima, amanah untuk mengukuhkan kalimatullah di muka bumi. Tujuannya agar manusia tunduk hanya kepada Allah swt. dalam segala aspek kehidupannya. Tentang amanah yang satu ini, Allah swt. menegaskan: “Allah telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kalian berpecah-belah tentangnya.” (Asy-Syura: 13)

Keenam, amanah tafaqquh fiddin (mendalami agama). Untuk dapat menunaikan kewajiban, seorang muslim haruslah memahami Islam. “Tidaklah sepatutnya bagi orang-orang yang beriman itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama.” (At-Taubah: 122)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa. mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An-Nur: 55)

sumber : Dakwatuna.com

Rabu, 24 Agustus 2011

Ziarah Kubur

Tata cara yang tidak berkaitan langsung dengan Al Qur’an serta praktek ritual yang mirip dengan perilaku.

kependetaan nasrani, hindu, yahudi, dan budha. Membuat kalangan tertentu merasa diatas angin untuk mencapnya sebagai perilaku agama yang menyimpang, sesat dan syirik.

Namun tradisi-tradisi kuno yang dikawinkan dengan kerangka islam ini tetap saja memberikan kesan spiritualitas yang mendalam. Bahkan kuburan wali sering diidentikkan dengan komplek keramat yang angker dan jauh dari keramaian. Tentu saja hal ini mengundang banyak pertanyaan, mengapa ritualitas ini memiliki nuansa yang mistis?

Sudah waktunya aktivitas ziarah kubur dikaji secara ilmiah melalui orang yang tepat. Salah satunya melalui H. Firdaus Hulwani, MA, Dosen Pendidikan Agama Islam STAI Bina Madani. Dia adalah salah satu orang yang memenuhi syarat untuk memberikan interpretasi, serta menggali makna ziarah yang terkandung didalam kaidah islam.

Duduk didepan makam pada waktu tertentu, pergi melangkahkan kaki  kesebuah tempat yang sering dicap “keramat” untuk berdoa.  Tentunya seolah-olah menciptakan pemandangan yang menyimpang dari kemurnian akidah. Karena dalam konsep Ketuhanan islam bahwa Allah tidak terbatas ruang dan waktu. “Berdoa itu sebenarnya bisa dimana saja, dan kapan saja.” Ungkap kalangan rasionalis. “Memang benar Allah tidak terbatas, masalah doa dimana pun tempat. Ya, Allah perintahkan. Kemudian Allah jamin akan kabulkan tetapi ada yang namanya tempat-tempat mustajab. Apa bedanya  orang berdoa di depan Ka’bah? Ka’bah itu batu. Apakah kita minta kepada batu? Begitu juga kita ziarah ke makam wali. Ya, tidak minta kepada wali,” ungkap firdaus untuk mengklarifikasi.

“Memang kalau berbicara para penziarah itu kan memang orang-orang yang bukan hanya melihat hal yang lahiriah saja. Karena antara anggapan orang yang serba lahiriah dengan orang yang berkecimpung dalam ilmu batin (hakikat) dalam memahami kematian saja sudah berbeda.” Lanjut alumni Universitas Al-Azhar ini.
“Orang yang serba formalis menganggap orang yang mati, ya mati. Nggak ada apa-apanya. Tapi kaum sufi memahami bahwa yang namanya mati itu kan cuma perpindahan alam saja, jadi berpindah dari alam yang lahiriah (dunia), kepada alam barzakh (kubur).”

Dalam Al Qur’an dikatakan, “Janganlah kamu menyangka orang yang mati di jalan Allah  itu mati begitu saja. Tetapi mereka hidup di sisi Allah mendapatkan kenikmatan.”

Sebagaimana orang yang tidak baik itu mendapatkan siksa maka orang yang baik-baik itu mendapatkan kenikmatan, bisa kadang-kadang saling menziarahi diantara mereka. Sampai ada keterangan para anbiya’ di kuburan mereka itu bermunajat, sholat, dll. keterangan Dalam hadits pun juga seperti itu bahwa namanya kematian itu bukan sesuatu yang terputus.”

Apakah ruh orang yang sudah meninggal tahu ketika diziarahi?

Dalam alam barzakh mereka itu mengetahui, mendengar, mengerti, dan berhubungan dengan orang yang menziarahi tetapi kebanyakan para penziarah kadang-kadang tidak mengerti. Seperti yang diajarkan Rasulullah kalau kita melewati kuburan kita disuruh mengucapkan salam dengan ucapan: Assalamu’alaikum ya ahlal qubur, kan begitu. Kum dalam kata ‘alaikum  dalam bahasa arab berarti dhomir mukhotob (orang kedua). Kalau orang kedua itukan sudah pasti orang yang diajak bicara berhadapan sebenarnya, bukan orang ketiga. Makanya pakai ‘alaikum bukannya ‘alaihim. Kalau ‘alaihim itu orang ketiga tapi ini pakai ‘alaikum berarti seakan-akan memang berhadapan.

Nah, ketika kita mengucapkan salam sebenarnya pada hakikatnya mereka pun membalas ucapan salam kita, itu yang pertama. Kemudian yang kedua ini jangankan kepada ruh orang-orang  mukmin. Rasulullah pernah mengajak bicara kuburan orang-orang kafir, yaitu orang-orang yang mati ketika  dalam perang badar. Rasulullah Saw, pernah mengucapkan “wahai ahlul badar,  apakah kalian telah mendapati apa yg dijanjikan oleh  tuhanmu itu benar?”  Ketika Rasulullah berbicara seperti itu sahabat yang lain bertanya “Ya Rasul, apa mereka itu mendengar sedang mereka itu sudah mati?” Maka Rasulullah mengatakan, “mereka mendengar, mereka lebih mendengar daripada kalian tetapi mereka tidak bisa menjawab.”

Duduk didepan makam pada waktu tertentu, pergi melangkahkan kaki  kesebuah tempat yang sering dicap “keramat” untuk berdoa.  Tentunya seolah-olah menciptakan pemandangan yang menyimpang dari kemurnian akidah. Karena dalam konsep Ketuhanan islam bahwa Allah tidak terbatas ruang dan waktu. Berdoa itu sebenarnya bisa dimana saja, dan kapan saja. “Memang benar Allah tidak terbatas, masalah doa dimana pun tempat. Ya, Allah perintahkan. Kemudian Allah jamin akan kabulkan tetapi ada yang namanya tempat-tempat mustajab. Apa bedanya  orang berdoa di depan Ka’bah? Ka’bah itu batu. Apakah kita minta kepada batu? Begitu juga kita ziarah ke makam wali. Ya, tidak minta kepada wali.

Rasulullah Saw,  bersabda bahwa mereka lebih mendengar daripada kalian tetapi mereka tidak bisa menjawab. Apakah mungkin ruh orang sholeh, para syuhada, dan aulia  yang sudah meninggal  mereka juga bisa menjawab para penziarah?

Nah, disini mereka mendengar tetapi mereka tidak menjawab mungkin  karena ruh ini ruh orang kafir. Tapi kalau ruh orang mukmin pasti bisa menjawab.  Dalam arti begini kalau tadi mereka tidak bisa menjawab tetapi mereka ternyata benar-benar mendapati  janji Allah, bahwa orang yang menentang orang yang kafir itu mendapatkan siksa. Maka mereka disitu mungkin juga tidak diizinkan untuk menjawab tetapi mereka merasakan bahwa yang dijanjikan Allah memang benar. Mereka dapatkan ‘adzab Allah. Kemudian kebalikannnya,  dalam  alam barzakh orang-orang yang berada di sisi Allah. Mereka  akan mendapatkan nikmat diantaranya mereka diantara mereka bisa saling menziarahi, bisa saling menjawab, bahkan bisa mendoakan orang yang masih hidup.

Berarti bisa dibilang ruh orang yang meninggal dengan ruh orang yang hidup dapat saling berinteraksi?

Sebenarnya, memang kalau dari segi  seperti  ini, memang harus ada dalil yang bener dan jelas. Tapi memang pernah ada dimana ada di zaman abu bakar. Abu bakar melaksanakan wasiat seorang sahabat yang mati syahid dalam peperangan tapi dia punya hutang. Kemudian ruhnya itu diizinkan Allah bertemu dengan saudaranya,  dan ruhnya itu berbicara dengan saudaranya.  Dia bilang, “saya mempunyai harta rampasan tapi harta rampasan saya diambil oleh si fulan. Tolong kamu cari seandainya memang itu ada kamu jual kemudian kamu bayarkan hutang saya.”

Kemudian seorang yang bermimpi ini menceritakan hali ini kepada abu bakar. Kemudian Abu Bakar melaksanakan wasiat si mayit ini,  dicari-cari ternyata benar. Cerita ini kalau tidak salah ada didalam kitab ar-ruh  Ibnu Qayyim Al Jauzi.

Cerita-cerita seperti ini banyak sebenarnya.  Namun, masalah  seperti ini  tentunya tidak terlepas dari izin Allah. Serta tergantung dari kadar kesiapan orang yang masih hidup itu. Bisa berhubungan atau tidak.

Seperti apa bentuk interaksi kedua ruh tersebut?

Ya, biasanya itu lewat mimpi kalaupun bisa ada kadang-kadang bentuknya sadar. Bahkan, didalam hadits sendiri kalau Rasulullah mengatakan, “Siapa yang melihat didalam mimpi maka dia akan melihatku dalam keaadaan sadar.”   Berarti ada yang seperti itu. Dan didalam kitab-kitab, ada orang-orang yang mereka ditarbiyah (dididik) oleh Rasulullah diantaranya kalau Syeikh Abdul Qodir Isa, seorang ulama sufi dari Syiria yang selama hidupnya dididik oleh Rasulullah dalam keadaan sadar.

Karena hadits sudah menyatakan ruh itu junudun mujannadah (para tentara Allah). Apabila dia memang saling mengenal dia bisa saling kasih sayang. Tapi apabila mereka tidak mengenal maka mereka berpisah. Itu tergantung perkenalan mereka itu didunia, rasa cinta didunia. Nah, itu bisa langgeng.


Interaksi ruh atau Kerasukan arwah?

Terkadang banyak orang yang menyalah pahami pertemuan ruh antara yang masih hidup dan mati, dengan fenomena kesurupan yang berasal dari praktik spiritual pada zaman pra islam. Sehingga komunikasi ruhani dari orang sholeh yang sudah wafat sering diidentikkan dengan kondisi kerasukan arwah. Apa yang beda dan membuatnya berbeda?

Memang sulit dibedakan antara  jin, ruh orang soleh, dan malaikat.  Tinggal dilihat kalau memang itu sudah tidak menyimpang dari hukum syari’at. Biasanya itu ruh orang baik.  Kalau itu jin biasanya menyimpang dari hukum dan menjauhkan dari Allah, ada kepentingan nafsunya.

Pernah ada pertikaian ketika nabi wafat. Ada perbedaan pendapat tentang apakah Rasulullah ini dimandikan dengan cara dibuka bajunya atau bagaimana? Akhirnya ada diantara orang yang hadir itu tiba-tiba seperti orang kerasukan.  Jatuh, kemudian berbicara sendiri. Disuruh memandikan Rasulullah dalam keadaan masih ada bajunya.

Pemahaman akidah yang salah membuahkan motivasi berziarah yang beragam. Dimulai dari berziarah untuk menarik energi suci, mendapatkan ilmu gaib, menyelesaikan masalah, menyembuhkan penyakit, sampai melunaskan hutang.?

Memang orang-orang yang ziarah ini niatnya macam-macam.  Kalau mereka yang menempuh jalan Tuhan, yang mereka cari adalah jalan spiritual. Ya, mencari keberkahan jalan spiritual. Kemudian ketika yang ziarah itu mungkin pengusaha atau pedagang biasanya tidak lebih daripada hubungan finansial biar dagangan lancar. kalau yang punya hutang biar bisa terbayar, bagi yang pengangguran inginnya mungkin pulang dapat pekerjaan dan begitu seterusnya.

Sebenarnya, intinya mereka itu mencari ketenangan. Cuma bukan hanya mencari ketenangan tetapi bisa mencari solusi dari masalahnya, dan mereka menganggap ya wali ini dengan wasilah (perantaraan) nya bisa mempercepat tujuan yang dia inginkan.

Pada hakikatnya kalau mereka hanya percaya sebagai wasilah itu tidak ada salahnya. Karena semua yang ada didunia ini pasti tentu dengan wasilah juga. Kita percaya beriman kepada Rasulullah dengan wasilah adanya ulama. Tidak mungkin tiba-tiba kita langsung percaya kepada nabi Muhammad Saw tanpa wasilah-wasilah guru dan begitu seterusnya, cuma simbol aja.

Adakah aliran cahaya dan berkah penghuni kubur keramat?

Sebenarnya bukan masalah cahaya atau apa, tapi keberkahan dari orang soleh itu. Arti berkah  atau barokah itu kan berkembang, bertambah, dan manfaat. Itu arti berkah. Jadi, kalau dikatakan orang itu berkah, orang itu bisa memberikan manfaat banyak kepada orang disekitarnya. Terbukti misalkan kalau didaerah makam wali terkadang kita bisa lihat kok perekonomian hidup disitu? Banyak orang dagang, itu bentuk keberkahan wali disitu dalam ekonomi saja sudah jelas seperti itu. Belum yang lainnya, orang jadi tenang, mengingat kebaikan-kebaikannya, mengikuti jejak-jejaknya itu keberkahan juga. Nabi saw, bersabda: “Allah menjadikan aku berkah dimanapun aku berada.”

Kemudian Rasulullah juga pernah menyatakan “hidupku baik untuk umatku dan matiku juga memberikan kebaikan bagi umatku.” Jadi kebaikan orang-orang soleh itu ketika hidup maupun mati tetap ada.

Suasana yang nyaman, tenang, dan damai ditengah keramaian dunia. Membuat kompleks pemakaman wali bukan sekedar tempat ritual yang sakral. Tetapi kini kompleks pemakaman wali menjadi tempat-tempat pelarian kaum yang terpinggir: dari mulai pengemis, orang gila, orang cacat yang terlupakan, sampai pengembara, dan buronan. Ini pernyataan Claude Guillot seorang peneliti asal Perancis yang pernah menjadi dosen di berbagai universitas  Mesir, Tanzania dan Indonesia. Komentar anda?

Orang jika sudah bergelimangan dengan harta dengan kegemerlapan sekarang ini, banyak yang walaupun harta mereka banyak tetapi ketenangan tidak  didapat. Ada orang-orang yang memang mencari ketenangan itu ya seperti itu. Dzikir di makam, berdoa di makam wali mereka mendapat ketenangan disitu karena memang dimana-mana tempat makam itu kan jauh dari pada hiruk-pikuk. Selain itu juga mungin disitu banyak orang-orang disekitar itu yang tidak mampu, itu kan juga mengambil pelajaran disitu ya sedekah, melihat keadaan saudara kita yang masih banyak membutuhkan pertolongan.

Rasulullah saw, mengajarkan kalau manfaat ziarah diantaranya  untuk mengingat kematian. Diantara keadaan zaman sekarang penuh dengan matrealisme, orang suka lupa dengan kemewahan, kegemerlapan itu. Ketika seseorang berziarah kubur mengingat adanya kematian paling tidak mereka harus merenung apa yang harus saya persiapkan untuk mati? Padahal perjalanan masih panjang.


Karena berziarah kubur akan membuat kita ingat mati, apakah rutinitas ziarah dapat melahirkan sikap zuhud? Melepaskan cinta terhadap keberadaan duniawi dan materi dalam hati?

Diantaranya seperti itu karena bahwasanya selama ini mungkin kan banyak orang yang sifatnya tidak puas-puas dengan masalah dunia sedangkan Rasulullah mengajarkan zuhud. Zuhud itu ya tidak rakus dan enggak boleh rakus dengan dunia, engga boleh rakus dengan materi. Minimal tidak ada rasa memiliki sampai masuk kehati. Kalaupun secara lahir dia punya apa saja tetapi dia tidak merasa itu milik dirinya sendiri maka dia pasti akan membantu orang lain.

orang tidak akan merasakan mahalnya nikmat sehat, mungkin kalau dia enggak sering-sering lihat orang sakit. Atau mungkin dengan cara sering  pergi ke rumah sakit, lihat orang sakit pasti akan merasakan sangat mahal yang namanya kesehatan. Begitu juga orang dalam keadaan banyak harta, ketika  ziarah, ia melihat didepannya ada kematian menunggu. Apa yang harus disiapkan?

Secara keseluruhan moral apa saja yang terkandung dalam ziarah?

Pesan-pesan yang bisa kita ambil mungkin diantaranya dari ziarah itu bahwa ketika kita tau kita hidup didunia ini maka disitu ada yang namanya kematian. Kemudian kita hidup akan mati tapi kebalikannya kita mati untuk hidup. Jadi kita mati itu sebenarnya untuk menuju kehidupan yang abadi. Itu pesan moralnya berarti ketika kita ziarah bekal apa yang akan kita bawa atau kita siapkan? Berarti kehidupan berikutnya harus mempunyai bekal yang cukup.

Kemudian yang kedua, bahwasanya ziarah itu bagian daripada pembelajaran saling menolong sesama orang mukmin karena menolong itu tidak mesti berbentuk materi dan tidak terbatas ketika seseorang itu masih hidup. Nah, bentuk kita berdoa kepada orang-orang yang sudah meninggal itu bagian daripada sedekah.
“Inna bikulli tasbihatin shodaqoh”,  kita baca tasbih itu sedekah juga yang diajarkan didalam agama islam. Mendoakan saudara-saudara kita yang sudah meninggal itu adalah bagian dari pertolongan kepada mereka. Apa yang kita lakukan seperti ini kebaikannya juga kita dapat ketika kita mati.

Apakah ini berarti proses transfer pahala?

Memang, kan hukum orang menghadiahi pahala itu, “Jumhur Ulama” (mayoritas Ulama’)  mengatakan semua sepakat yang kita niatkan sampai. Adapun ada sekelompok orang yang menyatakan bahwa, Imam syafi’i, menyatakan orang yang baca Al Qur’an  itu pahalanya tidak sampai kepada orang yang meninggal, adalah salah pemahaman. Jadi,  Syekh Zakaria al-Anshori berpendapat bahwa yang dimaksud Imam Syafi’i adalah, apabila dibacakan bukan di depan si mayit dan tidak diniatkan. Kalau didepan mayit tetapi tidak diniatkan malah tidak sampai.

Kemudian yang kedua maksudnya disitu dia niat baca tetapi setelah dibaca Al Qur’an  dia tidak hadiahkan pahalanya tidak membaca doanya itu menurut Syekh Zakaria al-Anshori. Ternyata Imam Syafi’I dalam sejarahnya pernah meriwayatkan bahwa beliau ziarah ke makam Imam Al-Laits bin Sa’ad dan beliau mengkhatamkan Al Qur’an disitu.

Bahkan ada suatu kelompok yang mengatakan pahalanya tidak sampai dengan dalil Ibnu Taimiyah. Tetapi ternyata Ibnu Taimiyah sendiri mengatakan si mayit bisa mengambil manfaat dari ibadah badaniah berupa sholat, puasa, ataupun sedekah. Apalagi berbentuk doa memohonkan ampunan. Fatwanya ada yang seperti itu.