Sayidina Umar ra dan Sayidina Ali ra dibut penasaran dengan pesan Rasulullah SAW. Sebelum wafat Nabi Muhammad SAW berpesan kepada kedua sahabatnya,
Ali dan Umar untuk mencari dan meminta doa kepada Uais Al-Qarni. Pesan
Nabi SAW itu kelak pada hari kebangkitan nanti Uais akan memberikan
syafaat kepada sejumlah manusia sebanyak domba Rabi’ah dan Mudhar.
Sejak itulah kedua sahabat Nabi ini dalam setiap kesempatan selalu
berusaha mencari Uais Al-Qarni. Nampaknya, untuk mencari Uais sulitnya
bukan main, bahkan Ali dan Umar mencarinya di banyak negara Islam yang
tersebar di jazirah Arab. Kedua sahabat ini tidak mengenal lelah.
Bahkan sampai saat kematian Khalifah Abu Bakar dan diteruskan ke
Khalifah Umar sebagai Amirul Mukminin, kedua sahabat ini masih belum
menemukan sosok yang dimaksud oleh Nabi tersebut. Padahal Nabi sudah
memberikan ciri-ciri Uais. Orangnya berperawakan sedang, rambutnya
lebat, dan ada tanda putih pada bahu kiri dan telapak tangannnya.
Pada suatu hari Umar dan Ali menemui rombongan haji dari Yaman. Dari
rombongan haji tersebut Umar dan Ali mendapatkan informasi bahwa Uais
Al-Qarni tinggal seorang diri di padang pasir. Ia hidup sendirian bahkan
ia dianggap gila. Keduanya sudah tak sabar untuk bertemu dengan sosok
manusia istimewa itu. Memang benar, Uais tinggal di tempat terpecil di
desa sunyi. Di sanalah Umar dan Ali dapat bertemu dengan orang yang
dicarinya.
NASIHAT UAIS
Setelah bertemu dengan Uais, Umar tidak sabar langsung ingin mengetahui
tentang siapa sebenarnya Uais ini. Uais mempersilakan Umar dan Ali
memeriksa badannya. Ternyata tanda putih di bahu kiri dan telapak tangan
orang ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah. Kemudian
Umar berkata, “Kami berdua berkesimpulan Anda adalah Uais, berikan
pelajaran dan doakan kami!” pinta Umar.
“Saya tidak pernah mendoakan khusus kepada seseorang, tetapi
mendoakan kepada seluruh kaum muslimin. Siapakah Anda berdua?” balik
tanya Uais.
“Beliau adalah Umar bin Khattab Amiril Mukminin dan aku adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Ali sembari menunjuk Umar.
“Ajarilah kami wahai hamba Allah!” pinta Umar.
“Carilah rahmat-Nya dengan taat dan mengikuti dengan penuh harap dan takut kepada-Nya,” jawab Uais.
“Terima kasih atas pelajaran yang amat berharga ini. Kami telah
menyediakan seperangkat pakaian dan uang untuk Anda. Kami harap Anda
menerima,” kata Umar sambil menyodorkan hadiah yang dibawanya.
“Terima kasih Amiril Mukminin, saya tidak menolak, tetapi tidak
membutuhkan hadiah itu. Upah saya sebagai penggembala kambing hanya
empat dirham, dan itu saja sudah berkelebihan. Hingga sisanya kuserahkan
kepada ibuku,” tolak Uais dengan penuh kesopanan.’
MEMBELA KEBENARAN
Ia juga seorang tokoh sufi besar pada zaman tabi’in, sebagai zahid ia
sangat sederhana, taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya serta
orangtuanya. Di siang hari ia bekerja, dan mulut serta hatinya selalu
penuh dengan zikir, pada malam hari diisinya dengan salat.
Ia memang tak pernah bertemu dengan Rasulullah, namun rohaninya
selalu berhubungan. Sehingga, Rasulullah berwasiat kepada Umar dan Ali
agar meminta doa Uais. la selalu dalam keadaan lapar dan hanya mempunyai
pakaian yang melekat di badannya. Dalam keadaan seperti itu, ia terus
berdoa. “Ya Allah janganlah Engkau siksa aku karena ada yang mati
kelaparan dan janganlah Engkau siksa aku karena ada yang mati
kedinginan”.
Dirinya selalu bersama Allah dan orang yang lemah. la bisa merasakan
bagimana derita orang-orang lemah, dan membuat dirinya seperti mereka
sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah. Berita tentang kedudukan Uais
yang istimewa di mata Rasulullah langsung segera menyebar di berbagai
negara Islam sehingga orang-orang Yaman memuliakannya.
Dalam perjalanan hidupnya. Uais Al-Qarni tidak hanya menyendiri dan
mengasingkan diri dari manusia. Ketika perang Shiffin ia berada di garis
depan dengan Ali bin Abi Thalib membela kebenaran. Tatkala kaum
muslimin membuka daerah-daerah Romawi, ia ikut memperkuat barisan Islam.
Namun, dalam perjalanan ia terserang penyakit dan meninggal pada 39 H.
Sumber : Nurani 205 (25 November-01 Desember 2004)