Selasa, 04 Oktober 2011

Uais Berguru Secara Rohani Pada Rasulullah

Sayidina Umar ra dan Sayidina Ali ra dibut penasaran dengan pesan Rasulullah SAW. Sebelum wafat Nabi Muhammad SAW berpesan kepada kedua sahabatnya, Ali dan Umar untuk mencari dan meminta doa kepada Uais Al-Qarni. Pesan Nabi SAW itu kelak pada hari kebangkitan nanti Uais akan memberikan syafaat kepada sejumlah manusia sebanyak domba Rabi’ah dan Mudhar.
Sejak itulah kedua sahabat Nabi ini dalam setiap kesempatan selalu berusaha mencari Uais Al-Qarni. Nampaknya, untuk mencari Uais sulitnya bukan main, bahkan Ali dan Umar mencarinya di banyak negara Islam yang tersebar di jazirah Arab. Kedua sahabat ini tidak mengenal lelah.
Bahkan sampai saat kematian Khalifah Abu Bakar dan diteruskan ke Khalifah Umar sebagai Amirul Mukminin, kedua sahabat ini masih belum menemukan sosok yang dimaksud oleh Nabi tersebut. Padahal Nabi sudah memberikan ciri-ciri Uais. Orangnya berperawakan sedang, rambutnya lebat, dan ada tanda putih pada bahu kiri dan telapak tangannnya.
Pada suatu hari Umar dan Ali menemui rombongan haji dari Yaman. Dari rombongan haji tersebut Umar dan Ali mendapatkan informasi bahwa Uais Al-Qarni tinggal seorang diri di padang pasir. Ia hidup sendirian bahkan ia dianggap gila. Keduanya sudah tak sabar untuk bertemu dengan sosok manusia istimewa itu. Memang benar, Uais tinggal di tempat terpecil di desa sunyi. Di sanalah Umar dan Ali dapat bertemu dengan orang yang dicarinya.
NASIHAT UAIS
Setelah bertemu dengan Uais, Umar tidak sabar langsung ingin mengetahui tentang siapa sebenarnya Uais ini. Uais mempersilakan Umar dan Ali memeriksa badannya. Ternyata tanda putih di bahu kiri dan telapak tangan orang ini persis seperti apa yang dikatakan oleh Rasulullah. Kemudian Umar berkata, “Kami berdua berkesimpulan Anda adalah Uais, berikan pelajaran dan doakan kami!” pinta Umar.
“Saya tidak pernah mendoakan khusus kepada seseorang, tetapi mendoakan kepada seluruh kaum muslimin. Siapakah Anda berdua?” balik tanya Uais.
“Beliau adalah Umar bin Khattab Amiril Mukminin dan aku adalah Ali bin Abi Thalib,” kata Ali sembari menunjuk Umar.
“Ajarilah kami wahai hamba Allah!” pinta Umar.
“Carilah rahmat-Nya dengan taat dan mengikuti dengan penuh harap dan takut kepada-Nya,” jawab Uais.
“Terima kasih atas pelajaran yang amat berharga ini. Kami telah menyediakan seperangkat pakaian dan uang untuk Anda. Kami harap Anda menerima,” kata Umar sambil menyodorkan hadiah yang dibawanya.
“Terima kasih Amiril Mukminin, saya tidak menolak, tetapi tidak membutuhkan hadiah itu. Upah saya sebagai penggembala kambing hanya empat dirham, dan itu saja sudah berkelebihan. Hingga sisanya kuserahkan kepada ibuku,” tolak Uais dengan penuh kesopanan.’
MEMBELA KEBENARAN
Ia juga seorang tokoh sufi besar pada zaman tabi’in, sebagai zahid ia sangat sederhana, taat dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya serta orangtuanya. Di siang hari ia bekerja, dan mulut serta hatinya selalu penuh dengan zikir, pada malam hari diisinya dengan salat.
Ia memang tak pernah bertemu dengan Rasulullah, namun rohaninya selalu berhubungan. Sehingga, Rasulullah berwasiat kepada Umar dan Ali agar meminta doa Uais. la selalu dalam keadaan lapar dan hanya mempunyai pakaian yang melekat di badannya. Dalam keadaan seperti itu, ia terus berdoa. “Ya Allah janganlah Engkau siksa aku karena ada yang mati kelaparan dan janganlah Engkau siksa aku karena ada yang mati kedinginan”.
Dirinya selalu bersama Allah dan orang yang lemah. la bisa merasakan bagimana derita orang-orang lemah, dan membuat dirinya seperti mereka sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah. Berita tentang kedudukan Uais yang istimewa di mata Rasulullah langsung segera menyebar di berbagai negara Islam sehingga orang-orang Yaman memuliakannya.
Dalam perjalanan hidupnya. Uais Al-Qarni tidak hanya menyendiri dan mengasingkan diri dari manusia. Ketika perang Shiffin ia berada di garis depan dengan Ali bin Abi Thalib membela kebenaran. Tatkala kaum muslimin membuka daerah-daerah Romawi, ia ikut memperkuat barisan Islam. Namun, dalam perjalanan ia terserang penyakit dan meninggal pada 39 H.
Sumber : Nurani 205 (25 November-01 Desember 2004)